Kediri (Jatimsmart.id) – Kisruh adanya pembatasan pengeras suara seakan belum usai, beberapa pihak mengeluarkan pernyataan dengan banyak prespektif. Akademisi IAIN Kediri, M. Dimyati Huda, menilai Surat Edaran Menteri Agama RI tentang pedoman penggunaan pengeras suara atau TOA di masjid dan mushalla tidak mengandung ‘pembatasan’ bagi umat Islam.
“Kita harus berpikir dan menyikapi surat edaran Menag RI, Yaqut Cholil Qoumas itu dengan cerdas, jangan hanya dipahami sesempal-sesempal. Tujuannya sudah jelas, agar kehidupan masyarakat menjadi nyaman,” kata M. Dimyati Huda.
Lebih lanjut, Dimyati mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh sebagian oknum yang membuat gaduh, seolah ucapan Menag RI dipelintir ke pemaknaan yang tidak tepat.
“Yang perlu ditanamkan pertama pikiran kita tetap dingin. Jangan sampai terprovokasi. Sudah jelas, Menag itu hanya mencontohkan suara gongongan anjing, bukan membandingkan,” lanjutnya.
“Menteri hanya mencontohkan apakah umat Islam tidak terganggu jika ada suara-suara keras di rumahnya? tentu jawabannya kan iya. Begitupun dengan umat non muslim. Jadi konotasinya bukan pada bentuk adzan dan anjingnya, tapi pada ‘kerasnya suara’,” paparnya saat ditemui saat selesai menguji disertasi.
Sebagai pakar antropologi agama, Dimyati menganggap Surat Edaran Menag sebagai bentuk mewujudkan sikap toleran dalam beragama. Indonesia adalah masyarakat plural dan multikultural, hal demikian harus disadari bersama. Dalam beragama, diperlukan kesadaran, menghargai kenyamanan umat lain sebagai bentuk peneguhan nilai-nilai Pancasila. Karena pada kenyataannya, konflik-konflik agama sering dipicu oleh hal-hal sepele, membesar lalu kemudian meletus menjadi konflik.
“Menag jelas tidak melarang adzan, hanya mengatur volumenya saja. Tidak ada bentuk pelarangan, tapi Menag ingin menata kehidupan beragama agar lebih harmonis. Itu bukan pembatasan loh ya, sangat berbeda,” terangnya.
Dimyati berharap bahwa kebijakan ini harus disikapi menggunakan prinsip berpikir moderat. Tidak fanatis. Prinsip berpikir toleran beragama, seimbang, kesamaan hak, tidak memahami ucapan Menag secara tekstual tanpa melihat tujuannya, itu adalah cara menguatkan moderasi beragama.
Kemudian, saat ditanya tentang apakah surat edaran tersebut berpotensi konflik atau tidak, Akademisi kelahiran Blitar ini, menjawab tidak sama sekali. Bahkan, SE tersebut dapat meredam konflik beragama.
“Konflik itu kan sebenarnya letusan, letusan dari sekian partikel kecil. Rasa tidak suka, terganggu, tersinggung, itu bagian partikel konflik agama. Justru Menag ingin menyapu partikel-partikel beragama ini sampai tuntas, dan umat Islam-pun tidak dibatasi sedikitpun,” pungkasnya.
Penulis : Prillani, Wakil Pemimpin Redaksi Jatimsmart.id.