Jombang (Jatimsmart.id) – Kehadiran Bupati bersama Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang Senen, S. Sos, M.Si dan Drs. Anwar MKP Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Jombang disambut oleh Toni Harsono, pegiat dan pelestari wayang POTEHI Klentheng Gudo Jombang.
“Berbicara tentang wayang Potehi di klentheng Gudo Kabupaten Jombang Jombang tidak bisa dilepaskan dari sosok yang Pak Toni Harsono”, tutur Bupati Mundjidah Wahab.
Beliau Pak Toni Harsono, tambah Bupati Mundjidah Wahab adalah bukan hanya pegiat seni, namun seorang pejuang yang tak kenal lelah dan pantang menyerah dalam upaya melestarikan serta mengembangkan wayang potehi.
Komitmennya dalam merawat kesenian wayang potehi ini diwujudkan dengan mendirikan museum wayang Potehi dan pagelaran wayang potehi secara berkala di Klentheng Gudo.
“Pak Toni Harsono telah mendedikasikan hidupnya untuk seni wayang potehi serta kehidupan para pelaku seni wayang potehi. Potehi telah membawa nama Jombang melalui duta perjalanan budaya ke Tong Tong Fair Den Haag, Belanda”, tandas Bupati Mundjidah Wahab.
Disampaikan Bupati Mundjidah Wahab, Pemerintah Kabupaten Jombang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang akan memberikan dukungan berupa fasilitasi kelompok potehi pada tampilan serta mengenalkan wayang potehi ini pada para peserta didik di sekolah.
Wayang potehi, kesenian tradisional asal Tionghoa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia. Perpaduan unsur budaya asal daratan Cina dengan budaya lokal memberi warna tersendiri bagi etnis Tionghoa di Nusantara termasuk yang ada di Kota Santri-julukan Kabupaten Jombang.
Wayang potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Cina Selatan. “Potehi” berasal dari akar kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi” (wayang). Secara harfiah, bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain. Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang. Kesenian tradisional dari Tionghoa ini telah berkembang selama kurang lebih 3.000 tahun lalu telah ada sejak Dinasti Jin (265-420 M).
Untuk memainkan wayang potehi ini membutuhkan 5 pemain, 2 pemain berperan sebagai dalang dan 3 pemain sebagai pengiring musiknya. Wayang yang dimainkan berbeda-beda tergantung ceritanya, untuk alatnya ada tambur, musik gesek, simbah, dan lain-lain
Pemilik museum Potehi Gudo, Toni Harsono mengatakan bahwa sebenarnya keberadaan boneka wayang potehi itu sudah datang dan disimpan dengan aman sejak 1920 lalu. Wayang potehi sendiri ini merupakan kesenian tradisional asal Tionghoa.
“Pada 2001 itu, saya mempunyai keinginan untuk membuat boneka potehi yang sama dengan potehi yang ada dari asalnya Tiongkok itu. Karena terdapat beberapa boneka yang saya rasa tidak cocok dengan karakternya, maka saya mempunyai inisiatif untuk mengrajini sendiri boneka potehi ini dengan menyesuaikan karakternya masing-masing,” tuturnya.
Cinta dan hobinya terhadap kesenian atau keterampilan terhadap boneka wayang potehi, menurutnya tidak lepas dari sosok kakek Tok Su Kwie dan ayahnya Hok Hong Kie yang merupakan dalang wayang potehi tersebut.
Kendati demikian, pria kelahiran Jombang 1969 ini mengaku bahwa hanya menyukai profesi pengrajin wayangnya saja bukan dalang.
“Kalau dalang sendiri saya tidak ya, tapi kalau pementasan di Klenteng ini sering ada. Kami juga main ke luar negeri, diundang ke Jepang, Taiwan dan lainnya. Kakek dan ayahnya saya itu jadi dalang, tapi saya tidak boleh,” jelas Toni
Di tangan Toni bersama 5 karyawannya, berbekal kayu jati, alat ukir, dan bermacam warna cat, mampu membuat kerajinan seni budaya peranakan Tionghoa, Potehi.
Menurut Toni, tak mudah dan tidak semuanya orang bisa dalam membuat boneka potehi tersebut.
“Rata-rata masih banyak yang tidak sesuai karakternya. Jadi pekerja-pekerja boneka wayang potehi di Museum ini saya bina terlebih dahulu, meskipun lama tapi akhirnya bisa juga untuk menyesuaikan dengan karakter tokohnya. Setiap hari ini membuat kerajinan ini. Karena gimana ya, sudah hobi dan memang senang dengan wayang potehi ini,” katanya.
Dalam sehari kata Toni, dimungkinkan hanya bisa membuat kepalanya saja. Sehingga menurutnya membutuhkan kesabaran dan ketelatenan agar sesuai ekspektasi.
“Kalau membuat bagian kepala bonekanya saja itu bisa jadi sampai sehari, itupun masih belum pengecatan. Kalau bisa terangkai itu ya lama, seperti masih buat beberapa kerangkanya,” jelasnya.
Dari beberapa tahun silam, hingga kini sudah terdapat ribuan boneka wayang potehi yang tersimpan dengan aman dan rapi di museum ini. Mulai dari boneka potehi yang usianya sudah tua hingga ke yang baru.
Kendati demikian, ia mengatakan bahwa tidak ada niatan untuk memperjual belikan kerajinannya tersebut. Melainkan pihaknya hanya ingin mengoleksi dan memfasilitasi pertunjukan-pertunjukan wayang potehi di beberapa Klenteng di Jombang maupun luar daerah.
“Sudah ribuan boneka potehi di museum ini. Tapi tidak saya jual, saya simpan semuanya untuk kebutuhan pementasan dan koleksi di museum potehi Gudo Jombang ini,” tuturnya.
Sementara itu pihaknya berupaya agar wayang potehi yang dimiliki tersebut, bisa bermanfaat dan jadi bagian budaya Indonesia. Selain itu bagaimana bisa dicintai dan dimainkan, serta menjaganya dengan baik dan mempermainkan dengan benar. Selain itu, ia berharap bagaimana potehi tersebut juga diperhatikan oleh pemerintah.
“Kalau di cagar budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, kerajinan boneka wayang potehi ini sudah didaftarkan,” pungkasnya. (red/kab)