Kediri – Memasuki musim panen raya, harga jual ketela di kawasan lereng Gunung Wilis, Kabupaten Kediri sangat rendah. Untuk meningkatkan harga jual ketela, petani menjual dalam bentuk olahan gaplek atau ketela yang dikeringkan.
Hamparan ketela di kanan kiri jalan menuju kawasan wisata alam Besuki ini menjadi pemandangan yang lumrah. Setelah dikupas dan dipotong, petani sengaja membiarkannya agar kering melalui proses alami. Prosesnya, memakan waktu 5-7 hari tergantung panas matahari.
Proses pengeringan ketela untuk menjadi gaplek ini hampir dilakukan mayoritas warga di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen dan Desa Jugo, Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi terhadap hasil panenan mereka ini.
Yatinem, salah satu petani mengaku harga jual ketela basah di saat musim panen raya ini, bahkan hanya berkisar Rp. 1.200 – Rp. 2.000 saja. Sementara dengan diolah menjadi gaplek, petani bisa menjual dengan harga Rp. 3.500-Rp. 4.000 per kilogram melalui tengkulak.
“Kalau langsung ke pabrik kadang bisa sampai Rp. 4500. Tapi saat ini harga turun.” Kata Yatinem
Petani tidak mengetahui penyebab pasti penurunan harga. Namun, diperkirakan karena terjadi panen raya sehingga menyebabkan stok barang melimpah.
“1 hektar lahan ketela bisa panen 1 ton. Disini ketela sangat luas,” imbuhnya
Selain sebagai makanan tradisional, gaplek merupakan bahan dasar pembuatan tepung tapioka. Petani biasa menjualnya ke pabrik-pabrik tepung di wilayah Tulungagung. Alternatif lain, petani dapat mengolah ketela menjadi tiwul. Olahan makanan pengganti nasi ini bahkan mampu dijual dengan harga Rp. 12.000.
“Cuman kalau tiwul belum tentu langsung laku. Biasanya diambil sama warung-warung di wisata atas (Air terjun) untuk nasi goreng,”
Untuk diketahui, dua desa di lereng Gunung Wilis yakni, Selopanggung Kecamatan Semen dan Desa Jugo, Kecamatan Mojo ini menjadi salah satu sentra produksi ketela dan gaplek. Karena hampir setiap warganya bertani ketela di ladang.