Kediri (Jatimsmart.id) – Maraknya media sosial dan mudahnya informasi yang menyebar, membuat masyarakat saling membandingkan diri antara satu dengan lainnya. Apa lagi mengenai apa yang mereka upload di sosial media.
Banyak orang berlomba-lomba saling menunjukkan dirinya di unggahan sosial media, apa yang mereka punya, apa yang mereka lakukan dan banyak hal lainnya. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain di media sosial. Sifat membanding-bandingkan ini tak jarang akan membuat seseorang merasa kurang akan apa yang telah mereka miliki.
Fatalnya, rasa tersebut akan membuat seseorang tidak mau kalah dari yang lainnya dan mencoba untuk mengikuti gaya hidup orang lain. Namun, apakah bisa ? Belum tentu loh! Demi sebuah gaya hidup dan pengakuan, beberapa orang rela mengambil jalan tikus untuk memenuhi keinginannya tersebut. Diantaranya; rela mengambil sistem kredit, meminjam barang atau bahkan termakan investasi palsu dengan klaim mendapatkan uang secara instan.
Lagi-lagi ada pertanyaan di balik fenomena yang biasa disebut Flexing Culture ini. Apakah seseorang melakukan hal tersebut sebagai personal branding ? Ya, tentu saja! Flexing biasanya dilakukan untuk beberapa kebutuhan, yaitu agar terlihat mampu atau kaya, meraih ketenaran, hingga mendapatkan pasangan dari kalangan berada.
Namun, flexing culture lebih didefinisikan sebagai konotasi yang negatif, pasalnya, flexing sendiri merupakan kegiatan memakerkan diri sendiri pada khalayak. Tujuannya, mendapatkan perhatian dan pengakuan diri. Felxing culture juga dapat membuat seseorang dapat dengan mudah dibaca pikirannya, membuat orang lain kesal dan tanpa disadari dapat menimbulkan kerusakan pada hubungan profesional sekaligus personal.
Ada beberapa cara yang dapat kamu lakukan jika telah terjebak pada fenomena yang satu ini, diantaranya; menggunakan sosial media dengan bijak, pikirkan lagi segala sesuatunya jika kamu ingin mengunggah sebuah konten, jangan fokus pada diri sendiri, memilih caption yang tepat. (gis/ydk)