Blitar (Jatimsmart.id) – Ketua Ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Kabupaten Blitar Mujianto mencurigai adanya penggembosan pada pansus hak angket Bupati Blitar Rini Syarifah dalam kasus sewa rumah dinas wakil bupati.
Kecurigaan Mujianto ini muncul setelah melihat sisa lebih Dana Alokasi Umum (DAU) yang dialihkan untuk kegiatan pokir legislatif.
Mujianto menduga dana sebesar Rp126 miliar yang bermuara dari sisa kelebihan anggaran DAU 2023 tersebut untuk melemahkan pansus hak angket dan hak interpelasi yang diajukan DPRD untuk mengadili Bupati Blitar Rini Syarifah atau Mak Rini.
“Jika benar hal itu terjadi, maka akan ada aturan yang dilanggar dan konsekuensinya akan berurusan dengan hukum,” kata Mujianto.
Seperti diketahui, pansus hak angket dan hak interpelasi untuk Bupati Blitar Mak Rini tinggal selangkah lagi. Usulan digelarnya pansus hak angket dan hak interpelasi oleh Fraksi PAN dan Fraksi PDIP telah diterima pimpinan DPRD.
Pansus hak angket yang diajukan untuk mengungkap polemik sewa rumah dinas Wakil Bupati Rahmat Santoso atau Makde Rahmat. Terungkap rumah yang disewa untuk rumdin wabup adalah rumah pribadi Bupati Mak Rini.
Untuk sewa rumdin tahun 2021 dan 2022, Pemkab Blitar telah merogoh anggaran Rp 490 juta. Mak Rini dinilai telah berbisnis dengan pemerintahannya sendiri. Sedangkan pansus hak interpelasi untuk mengungkap polemik TP2ID yang disinyalir menjadi sarang oligarki.
Pimpinan DPRD Kabupaten Blitar dalam waktu dekat berencana studi banding ke Kabupaten Jember. Daerah yang pernah terjadi peristiwa politik kepala daerah dilengserkan (dimakzulkan) oleh legislatif.
Lantas bagaimana skema melemahkan atau meredam pansus hak angket dan hak interpelasi? Informasi yang dihimpun, dana Rp126 miliar yang berasal dari sisa lebih DAU 2023 itu diduga akan dipakai untuk bernegosiasi dengan legislatif, terutama dengan anggota dewan atau fraksi yang hingga kini belum bersikap.
Sejauh ini baru Fraksi PAN dan Fraksi PDIP yang serius mengajukan pansus hak angket dan hak interpelasi. Sedangkan Fraksi Gerakan Pembangunan Nasional (GPN), yakni terdiri dari partai Gerindra, Nasdem, PPP dan PKS belum bersikap.
Terkait hal tersebut, Ketua DPRD Blitar Suwito Saren Satoto mengatakan, ini karena sebagian legislatif belum memahami betul apa yang sebenarnya menjadi kewajiban anggota DPRD terhadap dinamika politik.
“Nah, dengan mengikuti perkembangan di legislatif belum sebagian besar anggota memahami betul apa yang sebenarnya menjadi kewajiban anggota DPRD terhadap dinamika politik seperti yang muncul di publik sekarang ini, nyatanya masih berapa anggota yang sudah membubuhkan atau mau mendukung adanya pembentukan pansus itu,” kata Suwito.
“Toh sebenarnya pansus itu sama dengan terbentuknya pansus-pansus yang lain, cuma lokus dan obyeknya saja berbeda,” tambahnya.
Terkait itu dua persoalan yang sangat santer dipublik dan menjadi perhatian masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran rumah dinas maupun terkait dengan TP2ID menurut Suwito sudah memenuhi unsur terbentuknya pansus, kan disiitu persoalannya.
“Kalau selama ini legislatif hanya masih mendengar dari orang, sekarang tinggal menjalankan fungsinya untuk melakukan penyelidikan, teruntuk kerja pansus dalam penyelidikan nanti menemukan fakta atau tidak, kalau menemukan fakta baru pada tahap berikutnya untuk proses lebih lanjut,” tandasnya. (tok)