Blitar – Jika di Kota Kediri terkenal dengan soto Bok Ijonya yang terpusat di kawasan Terminal Tamanan, Kota Kediri, di Bumi Bung Karno Kota Blitar, nama soto Bok Ireng tak asing terdengar di telinga warganya, pun dengan para pecinta kuliner makanan berkuah tersebut.
Kuah santannya yang gurih dan segar, ditambah potongan daging sapi dan jeroan yang empuk, mampu menggoyang lidah para penikmatnya. Disajikan hangat dengan campuran daun bawang dan kecambah, makanan legendaris ini cocok untuk menu sarapan di pagi hari. Satu mangkuk, dijamin nambah lagi.
Bukan karena porsinya yang hanya semangkuk kecil, namun rasa dan aroma sedap, yang dihasilkan dari proses memasak yang sederhana dan tradisional, yakni dengan menggunakan anglo atau tungku kayu bakar.
“dari dulu ya tetap enak begini, nggak berubah,” kata Nanang Sholekan usai menyantap soto dari mangkuk keduanya, pada Jatimsmart.id, Kamis (31/01/2019) pagi.
Kedatangan Nanang bersama keluarganya di warung milik Sudarmiati di Jalan Kelud, Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul Kota Blitar ini untuk mengobati kerinduan akan kampung halamannya. Soto Bok Ireng, adalah yang paling ia ingat, setelah meninggalkan Kota Patria untuk merantau di tahun 1990an.
“kalau pulang pasti mampir, wajib! Dua mangkuk” selorohnya
Warung soto milik Sudarmiati berdiri di pojok selatan tembok jembatan yang dicat hitam itu. Dari jembatan itu, nama Bok Ireng diambil. Warungnya berdiri bersebalahan dengan saudaranya, Kayatin. Kedua pemilik warung merupakan pewaris resep legendaris dari si empunya, Sarbati (Alm). Keduanya sama-sama anak mantu dari Sarbati yang sebelumnya telah berjualan sejak tahun 1965.
“dulu satu warung, 2004 setelah suami saya meninggal, saya buka sendiri disini,” kata Sudarmiati
Sebagai penanda, Sudarmiati menamakan warungnya “Sami Mawon” yang artinya sama saja dalam bahasa Jawa. Meski terkesan bersaing, namun nyatanya tidak. Ini hanya untuk menegaskan bahwa tak ada beda dari warung Kayatin “Bok Ireng Yang Lama” yang tak pernah pindah sejak didirikan oleh mertuanya itu.
Memang tak ada beda soal rasa. Resep “rahasia” dari ibu mertua tersebut masih sama-sama mereka pertahankan. Semuanya bumbu diulek, bukan menggunakan blender. Termasuk anglo, pikulan dan tompo wadah soto.
Meski dalam perjalanannya Sudarmiati pernah mengganti anglo dengan kompor minyak, namun itu tak bertahan lama, karena rasa dan aroma sotonya tercium bau minyak tanah. Sementara pelanggannya, kabur.
“Pernah saya ganti pakai kompor minyak, pikir saya biar lebih bersih. Tapi ternyata nggak enak, bau minyak tanah,” tandasnya
Untuk harga per porsinya, Sudarmiati menjual Rp. 9 ribu. Ini tentu sangat murah, terlebih untuk soto dengan cita rasa yang melegenda ini. Wajib coba! (ydk/sam)